Jumat, 22 Januari 2010

apresiasi antologi puisi


APRESIASI ANTOLOGI
PUISI

“YANG MAHA SYAHWAT”
Karya : Mathori A Elwa
Dosen pembimbing : Ribut Rhmat Jaya S.Pd, M.Si


Nama : Abd Muis Jafar
Semester : III
2009


BAB I
Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas izin dan kehendakNya jualah makalah sederhana ini dapat kami rampungkan tepat pada waktunya.
Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia. Adapun yang kami bahas dalam makalah sederhana ini mengenai Apresiasi Antologi Puisi.
Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami mengenai hal yang berkenan dengan penulisan makalah ini. Oleh karena itu sudah sepatutnya kami berterima kasih kepada dosen pembimbing kami yakni Bapak Ribur Rahmat Jaya spd, Msi. yang telah memberikan limpahan ilmu berguna kepada kami.
Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih banyak kekurangan. Dalam makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.
Harap kami, makalah ini dapat berguna dan menjadi referensi bagi kami dalam mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.
Kamal, 20 januari 2010
Penyusun
Abd Muis Jafar
i
DAFTAR ISI
Bab. I. PEMBUKAAN
Kata pengantar............................................................................. i
Daftar isi.......................................................................................... ii
Sinopsis............................................................................................ 1
Bab. II PEMBAHASAN
Sinopsis biografi pengarang......................................................... 3
Puisi………………………………………………………………………. 4
Analisis unsur dalam puisi ( konotasi, tema,amanat)................. 9
Bab. III. PENUTUP
Kritik dan Saran............................................................................... 12
Daftar pustaka................................................................................ 13
ii
BAB I
PENGANTAR ANTOLOGI PUISI
Buku Yang Maha Syahwat, buku pertama Mathori, berisi segebok puisinya yang ditulis antara tahun 1986 hingga 1999. Diterbitkan oleh LKiS (Yogyakarta) pada tahun 1999. Pada salah satu kesempatan waktu membuka acara Festival Sastra Internasional Tahun 2001 di kampus Universitas Muhammadiyah Solo, WS Rendra pernah berkomentar terhadap sajak-sajak dalam buku itu. Dia bilang, kalau "sajak-sajak Mathori terkadang liar... Unik dalam mengungkapkan hubungan dengan Tuhan." Judul Yang Maha Syahwat terkesan ada unsur pornografi di sana, tapi jangan terkecoh, judul itu mencerminkan kecenderungan masyarakat kita akan nafsu tak terkendali dari kebanyakan manusia di bumi ini. Kalau kita simak sebagian sajak-sajak Mathori telah menberi kesan bahwa ia adalah seorang penyair muda yang sering mengalami kepahitan hidup, kepahitan yang sering mewarnai sebagian sajak Mathori terasa bukan dicari-cari. Tetapi karena karena dalam perjalana hidup Mathori sering ketemu dan merasakan sendiri yang di sebut kepahitan hidup itu..
Rasa pahit itu ditulis penyair dengan bahas yang cukup tepat dan terpilih. Istilah terpilih disini tidak berarti semacam bongkar pasang kata-kata. Pemilihan kata itu terjadi secara singkat dan terjadi sekilas saat penyair sedang menulis kata-kata yang terpilih itu begitu lancar dan mengalir tanpa banyak mengalami hambatan.
Dala mengutarakan isi hatinya.Mthori menggunakan bahasa yang sderhana. Tetapi tidak berarti apa yang di ucapkan tidak mengandung
1
kedalaman makna, atau makna trsirat yang mempertemukan pembaca dengan esensi kegetiran yang hendak disampaikan.
Dalam makna yang terkandung didalamnya, manusia modern mengabdi kepada “YANG MAHA SYAHWAT” yang artinya mereka Narsis (pangling) terhadap dirinya sendiri, menganggap dirinya paling baik (klaim moralitas), paling benar 9 klaim pengetahuan) paling berkuasa ( klaim polotik), da paling miskin ( kalim materi), sehungga pantas menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya untuk kepentingannya sendiri.
Menurut penyair , bagaimana pun kedamaian harus diberikan kepada bumi tempat jalur jalan raya bersilangan dan membujur tetapi pada suatu ketika kata Mathori sajaknya adalah suara dari perjalanan yang terkejut karena peneguk pedih dan pahit yang tiba-tiba tak bisa di tolak, ia merasakan dunia seperti terabaikan dengan serius, akibatnya manusia hanya memkirkan dirinya sendiri, komunikasi yang berisi jalinan kasih sayang sudah rusak, meskipun tuhan selalu menjaganya sepanjang masa, tetapi ia harus senantiasa waspada. Menurut penyair keadaan seperti itu tidak bisa dibiarkan. Manusia harus kembali kepada hati nurani, dzikir sembahyang untuk mewujudkan kekhalifan yang utuh. Untuk itu sangat penting bagaimana manusia mampu berjuang bisa mampumenepis rasa takut yang menghantui jalan hidupnya.
2
BAB II
BIOGRAFI PENGARANG
MATHORI A ELWA, dilahirkan di kali putih desa jampiroso kec. Ngluwar, Magelang. Menulis sajak sejak SMA. Alumnus PP Jamsaren Surakarta , MA-SMA I Al-Islam Surakarta, dan Fak. Ushuluddin Program Teologi & Filsafat IAIN Sunan Kalijaga ini pernah membacakan sajak-sajaknya—antara lain—di Gedung Kesenian (GK) Purna Budaya Yogyakarta, Hall IAIN Sunan Kalijaga, GK Rumentang Siang Bandung, Galeri Popo Iskandar Bandung, GK Tasikmalaya, GK Nyi Rara Santang Cirebon, Teater Arena Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Fakultas Sastra UGM, Kedai Kebun, Teater Arena Surakarta, Galeri Nasional Jakarta, dan Festival Puisi Internasional Indonesia 2002. Buku sajaknya yang sudah terbit antara lain Yang Maha Syahwat (Yogyakarta: LKiS, 1997),
Membaca sajak di lingkungan terbatas, antara lain pada forum puisi indonesia 87 ( taman ismail Marzuki, Jakarta, september 1987), penyair Yogya baca sajak (Gedung Rumentang Siang, Bandung, 1996), Tiga penyair Yogya di TIM (september 1989), festifal kesenian Yokyakarta (FKY) 1992, 1994. Kini ia hidup bahagia bersama Sri Wahyuni Rahayu (3/10/1969), sang Istri dan Muhamnad Abdurahman (14/9/1997), puisi kongkret perdananya. Yang Maha Syahwat merupakan kumpulan sajak tunggal pertamanya.
D. ZAWAWI IMRON, seorang kiai, sastrawan, perupa dan kolumnis asal Madura. “Gudang anekdot” dan “bank filsafah Tradisi Madura dan Bugis” ini Bertahan tinggal di desa kelahirannyayang terpencil, jambangan 25, Batang-batang, Sumennep, Madura .
ANGGER JATI WIJAYA, adalah aktivis lembaga syadaya masyarakat, praktisi sastra, pakar teater penyadaran, tinggal di bantul.
3
SERULING
Kutiup dengan langkah
Doa yang tumpah dalam serambi waktu
Menyujudi bayang-bayang wajahmu
Mengasihi kekhusukan
Kesepian yang terkaji
Kurukuki dengan kepasrahan
Merebahkan nasib
Dalam kemesraan abadi
Engkau menjelma-jelma ayatku
Berkilau-kilau
Sepi
1997/1995
4
MENGAJILAH PADA GERIMIS
Mengajilah pada gerimisku
Mendzikirlah rintik sendiri
Berlarian membaca angin
Agar engkau mengerti
Badai diluar sedang bercakap
Mengguncang barisan burung
Gemerincik diri adalah alif
Kujelmakan sendiri makna hujan
Agar engkau mengerti
Mengerti
1988/1992
5
ZIARAH PANTAI
Tentang maut kaulah pelayar jiwa lelah
Pejalan abadi
Menyatu dalam dzikir jalanan
Membelah jalanan sunyi
Aku dicibir keramaian
Bersarang dalam burung dan kapal dunia
Aku mengepakkan sayap matahari
Mengutuk nahkoda
Mengutuk diri
Jejak diziarahi bulan
Menyeret
Mengaji ilalang
Menyibak ombak dan batu-batu
Mengubur ikan-ikan
Kurakit rindu dengan sauh cintamu
Kuytanam sanubari
Mengkafani jarak dan ruang
Mencatat takarub sampan
Di nisan-nisan nelayan terpendam
1987/1995
6
SEMBAHYANG LUKA DUNIA
Tahajjud berabad-abad
Mencium bau doa
Dari kepingan-kepingan mautku bermakna
Menangisi dunia
Mengencingi luka-luka matahari
Bait-bait ini kulafalkan
Menghafalnya dari jeritan panjang musim
Aku bertaruh dalam doamu
Sujud langitku memanjang bertahun-tahun
Menyelamiku terasa lelah
Dunia kusebak bersama penguburan-penguburanku
Dunia wudlu pada kolam bisu
Dikafani penziarah kemarau
Gemuruh takbir
Orang-orang
Dibasahi kiamat berkali-kali
1987/1992
7
IBU
Berbakti pada angin
Kusisir hari-harimu
Dalam belaian panjang
Negeri tanpa asuhan burung dan dahan-dahan
Seperti hujan
Aku tumpahkan seluruh kedamaian
Pada bumiku
8
Analisis Unsur-unsur dalam puisi
Seruling
Konotasi :
Ø serambi waktu ↔ berbagai waktu
Ø Mengasihi ↔ memberi
Ø Merebahkan nasib ↔ pasrah
Ø menjelma-jelma ↔ muncul
Tema : Ketuhanan
Amanah : puisi “SERULING” yang menggambarkan seseorang yang merindukan tuhannya. Juga kedamaian itu muncul ketika ia berbicara dengan orang yang paling besar jasanya kepada dirinya pada puisi “IBU” yang mengharapka kedamaian.
MENGAJILAH PADA GERIMIS
Konotasi :
Ø mengerti ↔ Faham
Ø Bercakap ↔ Baebicara
Ø Mengguncang ↔ Menggetarkan
Ø Kujelmakan ↔ menampakkan
Tema : ketuhanan
Amanah : Sang penyair bercerita tentang kehidupannya agar manusia bisa memaknai hidup untuk slalu bersyukur kepada tuhannya
9
ZIARAH PANTAI
Konotasi :
Ø Membelah ↔ jadi dua
Ø Bersarang ↔ bertempat
Ø Mengepakkan ↔ menggerakkan
Ø Menyeret ↔ membawa
Tema : Ketuhanan
Amanah : penyair mengingatkan pada kita bahwa esok masih ada hari akhir yang akan membawa kita ke alam selanjutnya.
SEMBAHYANG LUKA DUNIA
Konotasi :
Ø jeritan teriakan
Ø Memanjang menjadi panjang
Ø Penziarah pengunjung
Ø Gemuruh suara keras
Tema : Ketuhanan
Amanah : Menurut penyair, ia merasakan dunia seperti terabaikan dengan serius, akibatnya manusia hanya memkirkan dirinya sendiri. Manusia harus kembali kepada hati nurani, dzikir sembahyang untuk mewujudkan kekhalifan yang utuh.
10
IBU
Konotasi :
Ø Berbakti pada angin ↔ merasakan hembusan angin
Ø Kusisir hari-harimu ku telusuri harimu
Ø Belaian Sentuhan
Ø Tumpahkan curahkan
Tema : Sosial
Amanah : menurut Penyair kedamaian itu bisa tercipta jka kita bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang yang paling besar jasanya kepada kita yaitu IBU.
11
BAB III
KRITIK DAN SARAN
KRITIK :
Hampir di setiap sajak Elwa menciptakan ironi dengan bahasa komunikatif serupa sajak “Yang Maha Syahwat” itu. Ironi sebab ia mencitra-dirikan kepada persona dunia yang secara ideal tidak diterima oleh masyarakatnya, namun dunia serupa itu hidup di sekeliling kita, bahkan melekat kepada kita : ego tahta, harta, juga wanita. Dari situlah justru ada tumbukan makna, karenanya bahasa puisi Elwa sekalipun cukup “terang” jika pembaca terbiasa dengan simbol dari referensi teologis, maka Elwa cuma sebatas mengusik acuan makna baku dari pandangan dunia itu. Bagaimanapun, pembaca yang mengenal referensi baik-buruk akan tidak terima, karenanya memunculkan penawaran wacana, justru di situlah bahasa sajak Elwa menjadi “puisi”.
SARAN :
Mathori A. Elwa (dalam buku puisi Yang Maha Syahwat) bertumpu pada “ingatan teologis”, dan justru melaluinya ia mencairkan kebekuan pandangan formalis religi, dan di sisi lain menyemprot kaum yang sok medernis yang mengikut saja arus modernisme. Basis teologis serupa itu justru perlu sebab dengan begitu, eksklusivitas pemaknaan religi oleh formalis, dalam sajak Mathori A. Elwa melalui strategi kebahasaan yang parodis, ironis, seringkali juga humor, menjadi dapat dicairkan..
Fenomena itu tampak sekalipun tidak menonjol dengan ekspresi bahasa yang amat liris. Fenomena sosial itu ditariknya sebagai setting bagi representasi biografisnya. Hiruk-pikuk perubahan sosial dalam sajak tidak mempengaruhi lirik sebagai bagian dari komunitas sosialnya, ia membiarkan dunia luar itu hanya sebatas sebagai panorama.
12
DAFTAR PUSTAKA
Mathori A. Elwa, Yang Maha Syahwat (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 1997),
Mustofa W. Hasyim, Reportase yang Menakutkan (Yogyakarta: Bentang, 1992).
13